Minggu, 27 Oktober 2013

Testimoni UTS Psikologi Belajar

Salah satu mata kuliah yang saya ikuti pada semester 7 ini adalah Psikologi Belajar. Sekarang adalah masa Ujian Tengah Semester (UTS) dan proses UTS pada mata kuliah ini berbeda dengan ujian biasanya. Kali ini, untuk proses UTS mahasiswa dan dosen pengampu sepakat untuk menggunakan media teknologi email untuk melaksanakan UTS ini. Dosen pengampu memberi soal pertama secara serentak kepada semua peserta kuliah dan masing-masing peserta dapat menjawab soal tersebut dengan membalas email secara personal untuk bisa mendapat soal selanjutnya.

Model UTS seperti ini adalah hal yang baru bagi saya sehingga saya antusias untuk menjalankannya. Proses UTS seperti ini menyadarkan kita bahwa sangat penting untuk melek teknologi. Selain itu, sebagai pemelajar dimana selalu menjalani proses belajar setiap saat, begitu juga halnya dengan proses UTS ini. Ada proses belajar baik untuk peserta kuliah maupun dosen pengampu. Proses UTS kali ini dapat dijelaskan dengan beberapa teori belajar berikut.

Teori Gestalt
Saat email pertama dosen pengampu masuk dan saya membaca poin per poin instruksinya saya memahami proses UTS ini. Tetapi ternyata saya salah persepsi mengenai deadline untuk menjawab soal. Saya mengira deadline penyelesaian soal-soal di hari Sabtu adalah khusus untuk soal no 1 saja, tetapi ketika saya sharing dengan teman-teman yang lain barulah saya tau bahwa pemahaman saya salah. Dan ketika saya membaca ulang instruksi dari dosen pengampu, baru saya tersadar kalau saya memang salah paham. Jika dikaitkan dengan teori belajar, maka dapat dikaitkan dengan teori Gestat mengenai persepsi. Asumsi dasar teori Gestalt yang kedua menyatakan bahwa organisme merespon stimulus secara keseluruhan ketimbang secara spesifik. seperti saya, saya melihat instruksi (stimulus) dari dosen pengampu secara keseluruhan sehingga saya kurang memperhatikan instruksi tersebut secara spesifik dan mendetail. Akibatnya kesalahan persepsi mengenai informasi pada satu poin dari stimulus tersebut.
 
Teori Skinner
Selanjutnya, saat saya telah mengirimkan jawaban soal no 1, dan dosen pengampu telah membalasnya saya merasa senang karena ternyata untuk soal no 1 saya mendapat nilai sempurna. Jika hal ini dikaitkan dengan teori belajar, maka teori Skinner mengenai reinforcement dapat dikaitkan. Soal no 1 yang berupa stimulus coba saya respon dengan sebaik mungkin kemampuan saya, lalu ketika balasan dari dosen pengampu telah saya terima dengan pernyataan bahwa skor saya sempurna maka hal itu menjadi reinforcement positif untuk saya untuk terus menjawab soal-soal selanjutnya sebaik mungkin kemampuan saya.

Faktor-Faktor Esensial dalam Perkembangan Kognitif


            Piaget adalah salah satu tokoh psikologi yang menjelaskan tentang perkembangan kognitif seseorang. Menurutnya, ada faktor-faktor esensial dalam perkembangan kognitif seperti pada penjelasan halaman 327. Ada empat faktor yang diperlukan untuk transformasi perkembangan dari satu bentuk penalaran ke bentuk yang lain. faktor itu adalah lingkungan fisik, kematangan, pengaruh sosial, dan proses yang disebut sebagai penyeimbangan.

            Dalam kehidupan sehari-hari, keempat faktor esensial tersebut memang berperan dalam perkembangan kognitif kita. Kontak dengan lingkungan sosial merupakan hal penting. Ketika kita masih anak-anak, keputusan apa saja yang akan kita ambil selalu tidak terlepas dari ikut campur orang tua atau orang dewasa lainnya. Karena seorang anak belumlah memahami betul yang mana yang baik dan yang mana yang buruk baik untuk dirinya ataupun unutk orang lain. Dalam hal ini, faktor esensial lingkungan sosial berupa orang dewasa disekitarlah yang berperan. Tetapi, saat kita sudah dewasa dengan kematangan sistem saraf yang sudah berkembang, dalam mengambil keputusan tidak selalu bertanya pendapat orang lain. sebagai seorang yang dewasa diharapkan dapat mengambil keputusan yang baik. Kematangan akan membedakan yang baik dan yang buruk juga termasuk faktor esensial kematangan yang berperan disana. Perkembangan bergerak dengan kecepatan yang berbeda-beda pada setiap orang tergantung pada sifat kontak anak dengan lingkungan dan aktivitasnya.

           

           

Model Ekspektasi Nilai dan Teori Atribusi


            Model ekspektansi nilai adalah salah satu pendekatan untuk studi motivasi dalam latar yang berkaitan dengan prestasi. Model ini memandang ekspektasi dan nilai sebagai kognitif ketimbang motivasional. Mereka juga berpengaruh langsung terhadap perilaku yang terkait prestasi. Model ini mengidentifikasi lima perilaku yang terkait prestasi, yaitu pilihan kegigihan, tingkat usaha, keterlibatan kognitif, dan kinerja aktual. Jadi, dapat disimpulkan bahwa nilai juga mempengaruhi seseorang dalam memilih sesuatu.

            Nilai tugas pada model ekspektasi nilai ini memiliki 4 komponen, yaitu nilai pencapaian, nilai instrinsik, nilai kemanfaatan, dan biaya. Nilai pencapaian adalah arti penting melakukan yang terbaik dalam bidang studi atau pelajaran tertentu. Nilai instrinsik adalah kesenangan siswa dalam melakukan tugas dengan baik atau minat subjektif siswa. Nilai kemanfaatan adalah kegunaan pelajaran atau bidang studi bagi anak. Dan biaya adalah sejauh mana pemilihan untuk terlibat dalam suatu aktivitas, membatasi kesempatan untuk berpartisipasi dalam aktivitas lain.

            Berdasarkan teori ini, saya mengaitkan perilaku saya dalam memilih jurusan psikologi sebagai bidang ilmu yang ingin saya dalami. Keempat komponen nilai tersebut mempengaruhi keputusan saya untuk akhirnya memilih psikologi. Tetapi, dari keempat komponen nilai tersebut, komponen nilai yang paling dominan mempengaruhi saya adalah nilai instrinsik. Sejak SMA, saya senang membaca buku-buku mengenai manusia, kehidupan anak, dan sebagainya. Selain itu, karena kebetulan kakak saya adalah juga mahasiswa psikologi, saya sering melihat buku-buku kuliah dan mendengar ceritanya sehingga saya semakin tertarik pada psikologi. Dalam hal ini, nilai instrinsik yaitu kesenangan siswa adalah nilai yang berperan disini, sehingga muncul perilaku yang terkait prestasi, yaitu memilih jurusan di bangku kuliah.

            Selain itu, perilaku saya memilih jurusan psikologi juga dapat ditinjau dari teori peran reaksi emosional dari teori atribusi. Seperti yang dijelaskan pada halaman 489 dan 490, individu yang mengalami apati, pengunduran diri, dan perasaan tidak kompeten akan berhenti mencoba menghadapi situasi yang berkaitan dengan pencapaian tertentu. Sedangkan orang yang merasa bersyukur dan lapang dada akan termotivasi untuk mengekspresikan rasa syukurnya. Individu yang merasakan perasaan kompetensi akan mendekati situasi prestasi dengan percaya diri.

            Saat mendaftar tes masuk PTN, saya sempat tidak lulus. Tetapi saya tetap yakin dan terus mencoba sambil berlapang dada hingga akhirnya saya lulus dan masuk jurusan sesuai dengan yang saya pilih yaitu psikologi. Disini dapat dilihat bahwa reaksi emosional saya ikut berperan dalam keputusan saya untuk tetap gigih mencoba masuk psikologi ataupun tidak.

             

Hukum Belajar Albert Bandura


Individu mempelajari perilaku baru melalui observasi atau model serta akibat dari tindakannya. Ada empat komponen belajar, yaitu model behavioral, konskuensi dari perilaku yang dicontohkan, proses internal pemelajar, dan keyakinan akan ketangguhan diri si pemelajar.

Komponen belajar yang pertama adalah model behavioral. Model ini bisa didapat dari berbagai sumber seperti media masa atau langsung dari orang lain. contoh dalam kehidupan sehari-hari bisa dilihat dari melayani tamu yang datang ke rumah. Saya sebagai anak perempuan diharapkan melakukan hal ini oleh orang tua saya. Jika ada tamu, saya diminta untuk membuat minuman atau sebagainya lalu mengantarkan ke ruang tamu. Perilaku ini bisa saya lakukan karena saya telah lama mengamati perilaku ibu saya melakukan hal ini sejak saya kecil. Waktu kecil dulu saya belum langsung turun tangan melakukan ini, tetapi saya hanya memperhatikan ibu saya bagaimana caranya. Dalam hal ini ibu saya adalah model bagi saya.

Komponen yang kedua yaitu konsekuensi dari perilaku yang dicontohkan. Dalam contoh ini saya mengaitkannya dengan jenis konsekuensi vicarious reinforcement. Saat saya meniru perilaku ibu saya untuk menyiapkan hidangan untuk tamu yang datang, ada reaksi emosional positif yang bangkit pada diri saya sebagai pengamat. Ada perasaan senang saat saya melakukan hal tersebut. Saya senang saya bisa melakukan atau meniru perilaku ibu saya dengan baik dan benar, saya senang saya bisa melakukan peran saya sebagai anak perempuan yang perilaku tersebut memang perilaku yang diharapkan oleh orang tua saya.

Proses internal pemelajar adalah komponen belajar yang ketiga, dimana disini proses kognitif berperan penting dalam belajar. Saya menginternalisasi perilaku saya menyiapkan hidangan untuk tamu yang data secara kogniti dan sadar. Karena hal itu, jika di lain waktu ada tamu yang datang ke rumah, saya langsung menyiapkan hidangan tanpa harus menunggu perintah dari ibu saya. Karena hal ini telah saya internalisasi dan saya sadar bahwa tugas ini sudah menjadi tugas saya sebagai anak perempuan di rumah.

Komponen yang terakhir adalah peran ketangguhan diri. Ketangguhan diri (self-efficacy) adalah keyakinan seseorang tentang kemampuannya sendiri dan keyakinan ini memotivasi pemelajar dengan cara tertentu. Pada contoh ini, telah ada keyakinan dalam diri saya bahwa saya memiliki tugas dan kemampuan untuk menyiapkan hidangan apabila ada tamu yang datang ke rumah kami.

Penerapan Hukum Belajar Thorndike


Menurut Thorndike pemecahan masalah adalah melibatkan pembentukan asosiasi antara stimulus dengan respon yang tepat. Thorndike mengidentifikasi tiga hukum belajar untuk menjelaskan proses ini seperti yang dijelaskan pada buku halaman 56 dan 57, yaitu hukum efek (law of effect), hukum latihan (law of exercise), dan hukum kesiapan (law of readiness). Teori tiga hukum belajar ini juga dapat kita kaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku kita sehari-hari juga menerapkan tiga hukum belajar ini.

 Pertama, law of effects, menyatakan bahwa suatu keadaan yang memuaskan setelah respon akan memperkuat koneksi antara stimulus dan perilaku yang tepat, dan keadaan menjengkelkan akan melemahkan koneksi tersebut. Contoh dalam kehidupan sehari-hari, jika saya sebagai seorang anak diminta untuk melakukan sesuatu oleh orang tua saya. Perintah orang tua saya dapat dikatakan sebagai suatu stimulus yang diharapkan akan mendapat respon yang tepat. Respon yang muncul dari saya adalah mengerjakan apa yang diminta oleh orang tua saya tersebut dan ini merupakan respon yang tepat. Ketika saya telah selesai mengerjakannya, saya dipuji oleh orang tua, hal ini merupakan keadaan yang memuaskan setelah respon yang akan memperkuat koneksi perilaku saya mengerjakan stimulus dari orang tua saya yang berupa perintah tersebut.

Hukum kedua adalah law of excercise menyatakan bahwa perulangan dari pengalaman akan meningkatkan peluan respon yang benar. Akan tetapi, pengulangan tidak menambah pembelajaran kecuali respon diikuti oleh keadaan yang menyenangkan. Jika kembali pada contoh pertama tadi, karena saya mendapat pujian dari apa yang telah saya lakukan, maka apabila di lain waktu orang tua meminta saya untuk melakukan sesuatu lagi, saya akan merespon sama yaitu mengerjakan apa yang dimintanya. Hal ini terjadi pengulangan karena ada keadaan yang menyenangkan yang saya dapatkan setelah saya merespon yaitu saya mendapat pujian. Jika setelah saya merespon dan tindakan saya tidak mendapat apresiasi atau bahkan ditolak, kemungkinan terjadi pengulangan respon akan kecil. Karena bagi saya, jika saya telah melakukan hal yang benar tetapi ditolak, itu merupakan keadaan yang menjengkelkan.

Hukum yang terakhir yaitu hukum ketiga adalah law of readiness mendeskripsikan kondisi yang mengatur keadaan yang disebut sebagai “memuaskan” atau “menjengkelkan”. Pelaksanaan tindakan atau respon adalah kondisi memuaskan dan perintangan tindakan atau respon adalah kondisi yang menjengkelkan. Seperti penjabaran diatas, kondisi menyenangkan (pujian) akan mempersiapkan saya untuk memunculkan respon tepat yang lainnya. Sedangkan kondisi menjengkelkan (pekerjaan saya ditolak), akan menghilangkan minat dan kesiapan saya melakukan respon seperti sebelumnya.